Tak Perlu Teriak, Tak Perlu Berontak (part I)

"Sejatinya, ketulusan tidak akan luntur hanya karena sesuatu yg tak sesuai dengan harapan
walau terjaga dalam diam, ia akan tetap tenang. tak berontak. tak perlu teriak"

Pagi itu, Putri, seorang gadis yang baru satu lulus dari bangku perkuliaahan duduk manis diatas kursi rotan yang sangat antik sambil memandang lembut kabut tipis yang mengaburkan padangannya dari luasnya kebun teh yang biasa ia pandangi setiap pagi

Ditangannya ada secangkir kopi panas. Putri bukan pecandu kopi, dia hanya senang mencium aroma kopi yang begitu menenangkan baginya. Sesekali dia mehirup aroma kopi sambil menutup mata lalu tersenyum. Hatinya tenang. Sangat tenang.

Tak lama kemudian kopinya menjadi dingin. Aromanya hilang bersama sirnanya kabut yang terbang ke atas awan. Iya mencoba mencium aromanya lagi sambil menutup mata tapi tak ia dapatkan semerbak wangi seperti saat kopi itu masih panas. Raut kecewa sedikit tergaris diwajahnya.

Dia menaruh cangkir kopi yang (sudah) tak beraroma itu di meja yang ada disampingnya tanpa senyuman. Gadis berambut panjang itu menyandarkan tubuhnya pada kursi rotan, dan kembali menutup matanya sambil menghirup udara segar gunung pangalengan. Mencari ketenangan. Lantas air mata jatuh perlahan dari ujung matanya.

Hatinya sesak, sangat sesak. Bukan karena aroma kopi yang telah hilang. Melainkan karena saat ini ia benar-benar ada dalam titik kejatuhan. Satu tahun belangkangan, semua rencana untuk mempersiapkan masa depannya sudah sangat matang ia rancang. Karir mengajar, bisnsis rumahan, omset bulanan, pernikahan, sudah ia tata rapi dan semuanya on prosses.

Semangatnya sangat membuncah. Hanya tinggal menunggu yang "indah pada waktunya" itu datang.
Tapi entah apa kehendak Tuhan. Semuanya harus hilang. Bukan hilang secara perlahan. Tapi hilang dengan sangat menakjubkan. Tanpa permisi. Tanpa memberi kesempatan untuk ia mengumpulkan kekuatan sebelum akhirnya menerima kehilangan.

Gadis manis itu masih menutup matanya sambil bersandar. Air matanya semakin deras. Beberapa kali tangannya menyeka air mata, tapi tangisan itu masih saja tak mau berhenti. isak tangis Putri pagi itu tak bersuara. Tapi dari tetsan air mata yang tak terbendung meski sudah diseka, seolah pertanda betapa ia memendam sesak di dada.

 'Tuhan, mengapa ini harus terjadi padaku?." hanya pertanyaan ituyang memenuhi ruang hati dan pikirannya

Tiga puluh menit berlalu dengan tangisan tanpa suara. sesak.
 
"life must go on. Aku percaya Tuhan tidak akan menciptakan air mata tanpa merencanakan kebahagiaan. Jadi, aku harus tenang. Tak perlu teriak. Tak perlu berontak" ujarnya dalam hati sambil kembali tersenyum.mencoba menenagkan hatinya yang terbalut (sedikit) beban

"bukankan Allah sudah menciptakan semua berpasang-pasangan? begitupun kesedihan. Tidak ada kesedihan tanpa kebahagiaan sesudahnya. mereka satu pasang 'kan?"

Putri masih berceloteh dengan hatinya. Mengobati hatinya. Sendiri. matanya masih tertutup, sesekali ia tersenyum, sesekali juga air matanya masih menetes dan kembali tersenyum.

Perlahan matanya mulai terbuka. kabut pagi itu berganti dengan mentari yang memberi kehangatan. hijaunya kebun teh cukup memberi ketenangan. Dan pemandangan pegunungan cukup memberinya kekuatan. Akhirnya gadis yang memiliki lesung pipi itu bisa tersenyum. hatinya berkata,

"Wahai Allah, Aku Ikhlas. sama seperti gunung itu, perjalanannya tak selamanya menurun ke lembah, tapi tak selamanya juga menanjak ke puncak. jadi, kalau saat ini aku ada di lembah kesedihan, berarti sebentar lagi aku berjalan menuju puncak kebahagiaan, 'kan?  tak perlu teriak, tak perlu berontak." tawa kecil muncul mengakhiri celotehan hatinya pagi itu sambil tersenyum

Bersambung ...



Afipahasna~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hey Mantan, Sepertinya Aku Sudah Mulai Terbiasa Tanpamu

Jika Disakiti, Jangan Balas Dengan Menyakiti